Resep Rahasia Ibu

Minggu, 15 Juni 2025 21:59 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Broken heart icon, Break, Divorce
Iklan

Tiap masakan Ibu menyimpan rasa dendam, bukan cinta. Di meja makan, tak ada yang kenyang, semua hanya belajar menelan luka.

***

Panci itu sudah penyok di sisi kiri, tapi tetap jadi andalan. Kompor cuma satu, menyala dengan bunyi mendesis yang terdengar seperti napas terakhir seseorang yang lelah hidup. Di dapur selebar kasur bayi, Ibu berdiri sambil mengiris bawang, air mata bukan karena pedas, tapi karena ingatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Katanya, cinta keluarga bisa terasa dari makanan rumah. Tapi Ibu tak pernah memasak dengan cinta. Ia memasak dengan dendam. Dengan tangan yang sama yang pernah menghantam kepala Ayah dengan ulekan, ia menumis sayur dengan senyuman datar.

“Ayam ini empuk karena dimasak lama,” katanya suatu malam. Padahal semua tahu, ayamnya hasil sembelihan kilat waktu ia sedang marah. Dada ayamnya bolong, persis seperti dada Deva, anak sulungnya, yang sudah dua minggu tak pulang.

Deva dulu rajin bantu belanja ke pasar. Sekarang ia entah di mana. Kata tetangga, ia jadi pengamen di terminal. Kata Ibu, ia anak durhaka. Kata Dini, adik Deva, itu semua salah Ibu.

Dini sudah SMA. Ia selalu memasang earphone saat makan malam, pura-pura tak dengar saat Ibu mengomel soal cucian kotor dan nilai raport. Ia diam-diam sering makan di luar. Alasannya belajar kelompok, padahal hanya ingin menjauh dari masakan rumah yang terlalu banyak rasa dendam.

Di rumah itu juga ada Bude Mumun. Adik Ibu yang katanya hanya numpang tinggal sementara setelah cerai. Tapi sudah lima tahun ia di situ. Ia suka ikut masak, tapi lebih suka ikut mengatur. Ia sering bisik-bisik di dapur, bilang bahwa Dini terlalu keras kepala, atau bahwa Ibu harus lebih galak.

Lalu ada Davin, anak bungsu yang baru kelas tiga SD. Ia masih suka minta suapan, belum tahu cara membedakan sambal yang pedas dengan sambal yang emosional.

Malam itu mereka makan bersama. Ayah tidak ada. Katanya kerja malam. Padahal semua tahu, ia tidur di musala dekat pasar sejak Ibu melempar piring dua minggu lalu.

“Makanlah sebelum dingin,” kata Ibu.

Dini menyingkirkan sambal ke pinggir piring. “Nggak usah banyak gaya, makan aja,” gerutu Bude Mumun.

Davin makan cepat-cepat. Ia takut kalau terlambat, bagian ayamnya akan diambil.

Ibu duduk paling akhir, mengambil nasi tanpa lauk. Katanya, sedang diet. Tapi kami tahu, Ibu sudah tak punya selera makan, apalagi hidup.

“Kalau Ayah pulang, jangan ada yang bicara soal uang,” katanya tiba-tiba.

Deva masuk lima menit kemudian, dengan tas robek dan mata sembab.
“Aku mau makan,” katanya singkat.

Ibu berdiri. Tanpa berkata, ia mengambilkan nasi dan menghangatkan sayur.

Tak ada yang bicara. Di meja itu, hanya suara sendok, detak jarum jam, dan desahan rasa bersalah. Karena malam ini, masakan Ibu terasa lebih hambar dari biasanya.
Karena malam ini, semua tahu, tidak ada yang benar-benar pulang.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Amelia Halfa Ramadhani

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler